Politik Seni Populer: Kesenian Tari Tayuban dan Perubahan Budaya di Jawa Timur*

 

Sumber: Robert W. Hefner. The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java. Indonesia Journal, No. 43 (Apr, 1987), pp. 75-94. Published by Southeast Asia Program Publications at Cornell University.

Tulisan ini adalah salah satu tulisan Robert W Hefner, seorang guru besar antropologi dan direktur dari Institute of Culture, Religion, and World Affairs (CURA) Boston University dari tahun 1986-2009. Robert W Hefner tleah melakukan berbagai penelitian, uatamanya dalam bidang bidaya, politik, dan Pendidikan muslim sejak pertengahan tahun 1980-an, dan pada bidang studi komparatif antropologi/sosiologi agama-agama dunia pada tiga puluh tahun terakhir ini. Dalam hal ini, yang akan diulas adalah salah satu tulisan Hefner yang popular berjudul The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java, yang membahas bagaimana kesenian tarian Tayuban dan perubahan budaya di Jawa Timur.

Robert W Hefner dalam tulisan ini berupaya membaca kesenian Tarian Tayuban dan Perubahan Budaya di Jawa Timur dalam konteks politik kesenian populer. Hefner dalam tulisan ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana Tarian Tayuban berjalan dalam bentuk dasar kesatuan organisasinya, kontroversi seputar maknanya, dan perkembangan sejarahnya dalam kaitannya dengan berbagai tradisi kesenian tari dan ritual dari daerah Jawa Timur lainnya. Meskipun tulisannya akan fokus pada wilayah pedesaan ujung timur dan timur jauh di Jawa Timur, tetapi Hefner mengatakan bahwa Tayuban juga dilaksanakan di beberapa daerah dan komunitas di Jawa Tengah. Lebih lanjut, kemudian Hefner mengatakan bahwa tradisi Tayuban yang terjadi dibeberapa daerah ini, memiliki dua poin penting yang menarik untuk dinilai lebih lanjut dalam budaya modern Jawa: menurunnya tradisi regional lokal dan semakin kuatnya pengaruh Islam.

Pada awal tulisannya Robert W Hefner menyebut bahwa Tarian Tayuban ini baginya pada awal dilihat membingungkan dan tidak terlalu ‘Jawa’. Dalam hal ini karateristik Tarian Tayuban tidak seperti gaya tarian di Jawa pada umumnya, dimana dalam tarian ini penari pria menari langsung dengan wanita dan cenderung agak mengekspos sisi sensualitas dan seksualitas. Seperti dalam tarian tersebut terdapat adegan bernyanyi, penawaran minum minuman keras, hingga kadang penari wanita (tledhek atau tandhak) menari diatas pangkuan penari pria.  Kemudian karena hal itu pula pada masa itu, muncul persepsi negatif (labelling) terhadap kesenian ini (misal seperti persepsi tenntang tledhek yang dianggap sebagai pelacur) yang menurut Hefner, menyebabkan para reformis Muslim dan beberapa pejabat pemerintah berupaya keras untuk menghapus tradisi ini.

Meskipun Hefner menjelaskan lebih lanjut bahwa kesenian tari terjadi dalam masyarakat ini tidak hanya sebagai kesenian populer saja, tetapi lebih dari itu sebagai bagian integral dan ritual dari upacara desa tahunan yang telah berlangsung secara turun-temurun dan menjadi upaya rasa syukur masyarakat pedesaaan terhadap kesuksesan dan kesuburan hasil tani. Sampai dalam kepercayaan masyarakat, ada hal buruk yang dapat terjadi ketika tidak melakukan hal tersebut, seperti hasil tani yang tidak bagus, tanah menjadi tandus, hingga menyebabkan jatuhnya orang sakit. Hefner menyebut, dari perspektif analitik, tema ‘kesuburan’ dalam hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih besar tentang asal-usul tarian dan hubungannya dengan tradisi tari regional lainnya. Hefner juga mengatakan, seperti halnya banyak pertunjukan artistik di pedesaan tradisional Jawa, Tayuban pada umumnya dilakukan dalam konteks perayaan yang lebih besar, yang biasa kita kenal dengan upacara Slametan. Slametan diselenggarakan di sekitar jamuan makan kecil yang dikenal sebagai kenduren dimana didefinisikan sebagai: "ritual sederhana, formal, tidak dramatis, hampir sembunyi-sembunyi" di mana orang berkumpul untuk membaca doa dan secara simbolis mengambil beberapa makanan ritual, sebagian besar darinya kemudian dibawa pulang. untuk dimakan.

Organisasi Sosial Tarian Tayuban

Hefner dalam bagian ini menjelaskan secara komprehensif bagaimana Tayuban lebih dari sekedar pertunjukan popular semata, lebih dari iru Tayuban memiliki organisasi sosial yang unik. Tayuban pada umumnya dilakukan dalam konteks perayaan yang lebih besar, yang biasa kita kenal dengan upacara Slametan. Lebih lanjut Hefner dalam bagian ini menjelaskan bagaimana prosesi pertunjukan Tayuban secara detail, bagaimana tarob, pelandang, tledhek, hingga penonton menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan selama pertunjukan berlangsung, hingga Tayuban sebagai sebuah organisasi sosial berjalan dan hubungannya dengan struktur masyarakat desa.

Yang menarik dalm bagian ini, seperti dijelaskan oleh Hefner, bahwa tledhek umumnya berasal dari latar belakang urban atau semiurban yang sebagian besar dari wilayah Jawa Timur, yang paling menonjol di wilayah Blitar-Ponorogo, Mojokerto, dan Malang Selatan. Tledhek dalam hal ini utamanya mengaku atau kalau boleh dibilang mengklaim sebagai Muslim, bahkan sebagai Muslim yang taat. Tledhek juga memiliki masa karir yang singkat, para wanita akan memulai sebagai tledhek pada usia remaja dan pension pada pertengahan usia dua puluhan. Menjadi tledhek juga menjanjikan karena pendapatan yang besar.

Dalam perspektif perubahan, perubahan pada satu lembaga, dalam hal ini kelompok kesenian biasanya mencerminkan perubahan dalam masyarakat seperti misalnya perubahan demografi dan mata pencaharian, perubahan hubungan sosial dan juga perubahan ideologi masyarakat pendukung kesenian ini. Dalam hal ini Hefner menunjukkan bagaimana perubahan ekonomi dan ideologi mengiringi perubahan yang terjadi pada Tayuban. Dalam pandangannya, Tayuban tidak hanya terkait dengan ritual semata, tetapi juga status dan ekonomi masyarakat. Mengenai status ini, Hefner menekankan bahwa pada saat itu Tayuban, menjadi penanda status ekonomi orang kaya di desa. Seperti pada kesennian rakyat lainnya, orang kaya di desa adalah sponsor utama (tarob) dalam ritual dan perjunukan kesenian rakyat. Begitupun sumbangan warga menjadi penting juga dalam berlangsungnya pertunjukkan. 

Tayuban dalam Wilayah Regional dan Perspektif Historis

Tayuban adalah salah satu jenis tari tradisional yang keberadaannya masih eksis di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tayuban sendiri pernah mengalami proses perubahan atau perkembangan sesuai dengan tuntutan peradaban masyarakat. Tayub merupakan seni tari yang diadakan sebagai ungkapan syukur atas rejeki yang diberikan Tuhan. Seperti dalam analisis Pigeaud mengenai seni tari populer beserta tarian tradisional serupa bahwa tayuban diadakan dalam rangkaian tradisi upacara bersih desa di lingkungan masyarakat pedesaan yang merupakan ritus kesuburan, yang diharapkan dapat mempengaruhi kesuburan tanah pertanian. Beberapa peneliti tarian di Jawa Tengah pun mengatakan hal serupa bahwa tayuban merupakan ritus kesuburan.

Geertz dalam bagian ini mencoba melacak akar historisitas Tayuban sebagai salah satu kesenian tari tradisional yang tidak terlepas dari wilayahnya. Geertz melihat terdapat dua wilayah yakni Blambangan dan dataran tinggi Tengger, menjadi aspek penting dalam melacak sejarah Tayuban saat ini atau tarian dengan nama serupa, menunjukkan bahwa tarian ini relatif baru, yang menggantikan tradisi tari sebelumnya yang hanya dapat kita lihat melalui data historis di kedua tempat tersebut. Menurut Geertz, tradisi tari disini yang akan dijelaskan hanya dapat dipahami dari perspektif sejarah regional yang lebih luas.

Dengan demikian tampak bahwa tradisi tari lokal di Blambangan dan Tengger telah sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik dan budaya yang lebih besar dari abad-abad yang sebelumnya. Barangkali yang paling luar biasa bahwa bahkan di satu daerah di Jawa Timur yang berhasil mempertahankan tradisi non-Islam, tarian itu ditransformasikan menjadi lebih konsisten dengan daerah-daerah lain di Jawa. Penilaian Jasper tentang penyebab perubahan gaya tari Tengger mungkin akurat dalam hal ini: ia menulis bahwa, di bawah pengaruh pendapat Muslim Jawa bahwa; "gadis-gadis yang baik tidak menari di depan umum", peran perempuan desa dalam tari adalah ditekan dan tledhek diperkenalkan di tempat mereka. Dalam sebuah Islamisasi di Jawa, ketika tarian yang dilakukan perempuan dianggap oleh orang-orang sebagai bentuk yang senonoh, penggunaan seorang pria yang berprofesi sebagai ‘orang luar’ yang diizinkan untuk terus menari tanpa mengorbankan reputasi baik wanita mereka. Ironisnya, ada kemungkinan bahwa di daerah seperti Tengger, perkenalan penari wanita profesional mungkin telah mendorong tari lokal untuk menjadi lebih leluasa. Dengan seorang profesional yang dibayar dari luar desa, pria akan merasa bebas dari batasan-batasan moral yang mungkin mengikat mereka ketika menari dengan wanita lokal. "Pembebasan" tarian dari adat istiadat lokal tertentu dalam jangka panjang, tentu saja, mungkin hanya melayani lebih jauh untuk memusuhi kepekaan moral komunitas Muslim ortodoks yang semakin berpengaruh. Politisasi budaya tari yang secara dramatis terbukti pada abad ke Sembilan belas kemudian meningkat pada abad ke-20.

 

Politik Estetika di Era Modern

Meskipun sudah sejak masa kolonial kritk terhadap Tayuban sudah dilakukan oleh para reformis Muslim, tetapi pada perkembangannya pengekangan dan kritik terhadap praktik kesenian ini semakin meningkat pada tahun pertama Kemerdekaan Indonesia.  Kemudian pertarungan ini, politisasi terhadap tayuban  tertarik ke dalam konstalasi pertarungan antar partai politik yang berkepentingan. Meskipun dalam orde lama, terdapat anomaly dimana PNI dan PKI disatu sisi mengkritik praktik tayuban yang terlalu menonjolkan seksualitas dan boros, tetapi disisi lain mereka membela tayuban sebagai bagian integral dari tradisi ritual sinkretis budaya dan mereka mengakui bahwa hal tersebut merupakan suatu yang populer di antara bagian penting dari konstituen mereka.

Kemudian sikap partai Muslim dalam menghadapi praktik kesenian tayuban juga mengkritik dan menolak. Seperti Muhammadiyah yang berbasis pada perkotaan, pada medio 1930-an telah menolak dan mengkritik tayuban, hingga setelah merdeka mereka bergabung dengan Masyumi sebagai wadah politik mereka, dan secara efektif pada 1950 berhasil melarang tayuban di berbagai kota di Jawa Timur seperti Probolinggo, Pasuruan, dan Malang. Tetapi pola yang berbeda terjadi di pedesaan dimana Nahdlatul Ulama (dalam tingkat lokal) memiliki sikap yang lebih lunak atau bahkan diam-diam mentoleransi terhadap tayuban, karena dianggap bagian dari adat yang sudah lama ada, meskipun pada tataran elit Nahdlatul Ulama di Pusat Bersama dengan Masyumi dan Muhammadiyah menolak kesenian ini.

 Di bawah pemerintahan Orde Baru memiliki pola yang berbeda lagi, para pejabat Golkar di wilayah tersebut tidak memiliki sikap terhadap tayuban. Di satu sisi, kebijakan nasional Golkar menekankan peran positif seni tradisional, kepentingan mereka sebagai symbol dan identitas regional dan nasional, dan potensi keuntungan mereka sebagai obyek pariwisata domestik dan internasional. Sejalan dengan posisi ini, para pejabat Golkar tingkat rendah yang diajak bicara oleh Geertz pada 1979 dan 1980 umumnya membela tayuban, mengkritik apa yang mereka anggap sebagai serangan campur tangan kaum reformis Muslim terhadap tradisi desa yang mapan. Namun dalam beberapa tahun setelahnya ditemukan bahwa banyak dari pejabat yang sama ini menjadi lebih berhati-hati dalam komentar mereka terhadap tayuban, kadang-kadang bahkan mengakui validitas kritik Muslim dan bergabung dalam panggilan untuk penghapusan tayuban. Perubahan hati mereka ini tidak tampak sebagai produk dari pergeseran yang jelas dan seragam di pihak para ahli strategi Golkar, tetapi mungkin telah terjadi karena pengaruh Islam yang semakin besar di wilayah Jawa Timur, di mana, dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan yang spektakuler dalam ortodoksi agama bahkan di bekas pusat tradisi Jawa Islam.

Perubahan budaya ini juga telah dipengaruhi oleh perubahan penting dalam ekonomi politik pedesaan, dengan cara yang juga telah merusak daya tarik tayuban. Perubahan politik pada tahun 1960-an dikombinasikan dengan "revolusi hijau" pada tahun 1970-an telah mendorong para petani berpenghasilan menengah dan atas - yang kemungkinan besar di masa lalu menjadi sponsor tayuban - untuk menyalurkan surplus produktif mereka menjadi barang-barang yang menghasilkan kekayaan dan prestise ketimbang menggunakannya sekali habis untuk pertunjukan semacam tayuban. Disini telah terjadi perubahan sistem status desa yang berbeda dengan sebelumnya.

* Tulisan ini adalah bentuk resume dari artikel karya Robert W. Hefner. The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java. Indonesia Journal, No. 43 (Apr, 1987), pp. 75-94. Published by Southeast Asia Program Publications at Cornell University.

Comments

Popular Posts