Resensi : Ikan Layang Terbang Menjulang
"Kota Batik di Peklongan, bukan Jogja bukan Solo...."
Seperti petikan lirik lagu di atas, ketika mendengar kata 'Pekalongan' sudah barang tentu yang terbesit dalam benak kita adalah sebuah kota yang identik dengan Batik. Meskipun demikian, Pekalongan yang secara geografis terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa juga memiliki keidentikan dengan laut, ikan, dan segala rupa aktifitas pesisir lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam logo Kota Pekalongan yang baru ataupun lama, tidak hanya canting, namun terdapat lambang air dan ikan yang merepresentasikan semangat bahari Pekalongan.
Seperti petikan lirik lagu di atas, ketika mendengar kata 'Pekalongan' sudah barang tentu yang terbesit dalam benak kita adalah sebuah kota yang identik dengan Batik. Meskipun demikian, Pekalongan yang secara geografis terletak di pesisir pantai utara Pulau Jawa juga memiliki keidentikan dengan laut, ikan, dan segala rupa aktifitas pesisir lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam logo Kota Pekalongan yang baru ataupun lama, tidak hanya canting, namun terdapat lambang air dan ikan yang merepresentasikan semangat bahari Pekalongan.
Buku karya Sutejo K. Widodo yang akan dibahas kali ini, Ikan Layang Terbang Menjulang, sejatinya diangkat dari disertasi doktoralnya di Universitas Indonesia tahun 2002 yang berjudul : Perkembangan Pelabuhan Pekalongan menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990. Buku ini adalah salah satu karya Sutejo Kuwat Widodo, seorang guru besar Ilmu Sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang. Sutejo memiliki minat dan keahlian dalam kajian sejarah maritim khususnya pada subjek sejarah perikanan dan nelayan. Dalam hal ini, yang akan diulas adalah salah satu tulisan Sutejo yang dipandang paling penting berjudul Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990, diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Diponegoro – The Toyota Foundation pada tahun 2005, yang membahas bagaimana transformasi Pelabuhan Pekalongan yang sebelumya pelabuhan niaga menjadi pelabuhan perikanan.
Sutejo dalam tulisan ini berupaya membaca perkembangan Pelabuhan Pekalongan dari tahun 1900-1990, dengan menyinggung latar belakang peran pelabuhan Pekalongan sebelumnya, perubahan status dan fungsi pelabuhan serta perkembanganya setelah menjadi pelabuhan khusus perikanan, kemudian dampak sosial ekonomi dari perkembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Dengan rentang waktu dari tahun 1900 sampai 1990, yang berarti selama 90 tahun, pembahasan meliputi perkembangan pelabuhan Pekalongan pada periode masa akhir pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, masa revolusi sampai dengan masa pemerintahan Orde baru. Pengambilan rentang waktu tersebut, menurut penuturan Sutejo dalam kaitanya dengan masyarakat Pekalongan dan sekitarnya secara lengkap dan berkelanjutan. Sampai dengan masa akhir pemerintah kolonial, kegiatan nelayan yang melakukan pendaratan ikan di pelabuhan Pekalongan hanyalah merupakan salah satu kegiatan pelabuhan yang tidak begitu besar.
Kiranya yang menjadi perhatian dari buku ini adalah tesis Sutejo mengenai pola corak perkembangan pelabuhan. Perkembangan pelabuhan perikanan memiliki kecenderungan corak tersendiri yang tidak sama dengan perkembangan yang berlangsung pada pelabuhan niaga. Hal ini misalnya dapat dilihat dari perkembangan pelabuhan niaga di Kawasan pantai utara Jawa sejak awal abad ke-20 lebih terfokus pada tiga pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, dan Pelabuhan Semarang. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk lebih memodernisasi ketiga pelabuhan tersebut. Kebijakan untuk memodernisasi ketiga pelabuhan tersebut mengakibatkan semakin berkurangnya kegiatan dan peran pelabuhan-pelabuhan kecil. Secara substansial arah kebijakan tersebut kemudian diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia yang tetap memberikan perhatian besar terhadap ketiga pelabuhan utama tersebut. Sementara itu perkembangan pelabuhan perikanan di Kawasan pantai uatara Jawa yang berkembang mengesankan sejak medio 1980-an menunjukkan suatu pola yang berbeda, bahwa berkembangnya satu pelabuhan perikanan tidak sampai mematikan pelabuhan perikanan di sekitarnya.
Seperti yang telah disebut dalam tesis Sutejo diatas, corak perkembangan satu pelabuhan niaga, yang mengakibatkan surutnya pelabuhan niaga lainnya, berbeda dengan perkembangan pelabuhan perikanan yang tidak sampai mematikan pelabuhan lain di sekitarnya. Perbedaan pola perkembangan antara kedua jenis pelabuhan tersebut, antara lain disebabkan oleh perbedaan mendasar antara fungsi pelabuhan niaga dan pelabuhan perikanan. Hal ini yang menjadikan bertransformasinya Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuhan perikanan tidak menganggu atau mengakibatkan surut atau turunnya pelabuhan di sekitarnya.
Dengan dasar tersebut, misal kita dapat melihat apa yang terjadi kemudian pada Pelabuhan Cilacap seperti yang diungkap dalam karya Susanto Zuhdi, Cilacap (1830-1942) Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa dimana Pelabuhan Cilacap sebagai pelabuhan niaga meskipun secara alamiah paling mendukung dibanding semua pelabuhan yang ada di Jawa. Cilacap yang terletak di mulut daratan, yang dibatasi oleh Samudera Hindia dan Sungai Donan, dimana muaranya cukup dalam untuk kapal-kapal bertonase besar yang bisa masuk bebas kapan saja. Muara ini juga menjadi pelabuhan yang aman karena proteksi yang dibentuk oleh pulau Nusa Kambangan terhadap gelombang besar Samudera Hindia. Akan tetapi karena corak perkembangan pelabuhan Cilacap yang merupakan pelabuhan niaga menjadikan Cilacap perlahan surut dan kalah bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan lain di utara Jawa. Hal tersebut juga kita dapat lihat dalam pelabuhan lain seperti Pelabuhan Ende dalam karya Nuryahman, Pelabuhan Ende dalam Perdagangan di Nusa Tenggara Abad ke-19. Pelabuhan Bima dalam Karya Taufiqurrahman, Sejarah Pelabuhan Bima, dan Karya Farikha Hevtavia, Perkembangan Pelabuhan Tegal Jawa Tengah 1961-1994.
Selanjutnya kembali dalam pembahasan pelabuhan Pekalongan, Sutejo dalam buku ini dapat menjelaskan secara historis bagaimana pasang surut perkembangan pelabuhan Pekalongan dari pelabuhan niaga yang kemudian bertransformasi menjadi pelabuhan perikanan. Terdapat beberapa faktor yang mendukung pelabuhan Pekalongan dapat sukses bertransformasi menjadi pelabuhan perikanan. Seperti diantaranya adalah berdirinya Koperasi Perikanan ‘Makaryo Mino’, pemisahan administrasi kegiatan dari Kabupaten Pekalongan, hingga yang menarik adalah kepedulian pengusaha tenun dan batik lokal (familiar dengan sebutan Haji atau Wong Kaji) yang juga ikut menanamkan modalnya di sektor perikanan. Kajian Sutejo Kuwat Widodo ini, setidaknya tidak hanya memperkaya khazanah kepustakaan mengenai sejarah maritim dengan fokus sejarah perikanan, tetapi karena studi kasus mengenai Pelabuhan Pekalongan yang dilakukan Sutejo, berhasil mengungkap aspek-aspek baru tentang sejarah lokal Kawasan yang bersangkutan tersebut.
Sutejo dalam tulisan ini berupaya membaca perkembangan Pelabuhan Pekalongan dari tahun 1900-1990, dengan menyinggung latar belakang peran pelabuhan Pekalongan sebelumnya, perubahan status dan fungsi pelabuhan serta perkembanganya setelah menjadi pelabuhan khusus perikanan, kemudian dampak sosial ekonomi dari perkembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan. Dengan rentang waktu dari tahun 1900 sampai 1990, yang berarti selama 90 tahun, pembahasan meliputi perkembangan pelabuhan Pekalongan pada periode masa akhir pemerintahan kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, masa revolusi sampai dengan masa pemerintahan Orde baru. Pengambilan rentang waktu tersebut, menurut penuturan Sutejo dalam kaitanya dengan masyarakat Pekalongan dan sekitarnya secara lengkap dan berkelanjutan. Sampai dengan masa akhir pemerintah kolonial, kegiatan nelayan yang melakukan pendaratan ikan di pelabuhan Pekalongan hanyalah merupakan salah satu kegiatan pelabuhan yang tidak begitu besar.
Kiranya yang menjadi perhatian dari buku ini adalah tesis Sutejo mengenai pola corak perkembangan pelabuhan. Perkembangan pelabuhan perikanan memiliki kecenderungan corak tersendiri yang tidak sama dengan perkembangan yang berlangsung pada pelabuhan niaga. Hal ini misalnya dapat dilihat dari perkembangan pelabuhan niaga di Kawasan pantai utara Jawa sejak awal abad ke-20 lebih terfokus pada tiga pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, dan Pelabuhan Semarang. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk lebih memodernisasi ketiga pelabuhan tersebut. Kebijakan untuk memodernisasi ketiga pelabuhan tersebut mengakibatkan semakin berkurangnya kegiatan dan peran pelabuhan-pelabuhan kecil. Secara substansial arah kebijakan tersebut kemudian diteruskan oleh pemerintah Republik Indonesia yang tetap memberikan perhatian besar terhadap ketiga pelabuhan utama tersebut. Sementara itu perkembangan pelabuhan perikanan di Kawasan pantai uatara Jawa yang berkembang mengesankan sejak medio 1980-an menunjukkan suatu pola yang berbeda, bahwa berkembangnya satu pelabuhan perikanan tidak sampai mematikan pelabuhan perikanan di sekitarnya.
Seperti yang telah disebut dalam tesis Sutejo diatas, corak perkembangan satu pelabuhan niaga, yang mengakibatkan surutnya pelabuhan niaga lainnya, berbeda dengan perkembangan pelabuhan perikanan yang tidak sampai mematikan pelabuhan lain di sekitarnya. Perbedaan pola perkembangan antara kedua jenis pelabuhan tersebut, antara lain disebabkan oleh perbedaan mendasar antara fungsi pelabuhan niaga dan pelabuhan perikanan. Hal ini yang menjadikan bertransformasinya Pelabuhan Pekalongan sebagai pelabuhan perikanan tidak menganggu atau mengakibatkan surut atau turunnya pelabuhan di sekitarnya.
Dengan dasar tersebut, misal kita dapat melihat apa yang terjadi kemudian pada Pelabuhan Cilacap seperti yang diungkap dalam karya Susanto Zuhdi, Cilacap (1830-1942) Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa dimana Pelabuhan Cilacap sebagai pelabuhan niaga meskipun secara alamiah paling mendukung dibanding semua pelabuhan yang ada di Jawa. Cilacap yang terletak di mulut daratan, yang dibatasi oleh Samudera Hindia dan Sungai Donan, dimana muaranya cukup dalam untuk kapal-kapal bertonase besar yang bisa masuk bebas kapan saja. Muara ini juga menjadi pelabuhan yang aman karena proteksi yang dibentuk oleh pulau Nusa Kambangan terhadap gelombang besar Samudera Hindia. Akan tetapi karena corak perkembangan pelabuhan Cilacap yang merupakan pelabuhan niaga menjadikan Cilacap perlahan surut dan kalah bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan lain di utara Jawa. Hal tersebut juga kita dapat lihat dalam pelabuhan lain seperti Pelabuhan Ende dalam karya Nuryahman, Pelabuhan Ende dalam Perdagangan di Nusa Tenggara Abad ke-19. Pelabuhan Bima dalam Karya Taufiqurrahman, Sejarah Pelabuhan Bima, dan Karya Farikha Hevtavia, Perkembangan Pelabuhan Tegal Jawa Tengah 1961-1994.
Selanjutnya kembali dalam pembahasan pelabuhan Pekalongan, Sutejo dalam buku ini dapat menjelaskan secara historis bagaimana pasang surut perkembangan pelabuhan Pekalongan dari pelabuhan niaga yang kemudian bertransformasi menjadi pelabuhan perikanan. Terdapat beberapa faktor yang mendukung pelabuhan Pekalongan dapat sukses bertransformasi menjadi pelabuhan perikanan. Seperti diantaranya adalah berdirinya Koperasi Perikanan ‘Makaryo Mino’, pemisahan administrasi kegiatan dari Kabupaten Pekalongan, hingga yang menarik adalah kepedulian pengusaha tenun dan batik lokal (familiar dengan sebutan Haji atau Wong Kaji) yang juga ikut menanamkan modalnya di sektor perikanan. Kajian Sutejo Kuwat Widodo ini, setidaknya tidak hanya memperkaya khazanah kepustakaan mengenai sejarah maritim dengan fokus sejarah perikanan, tetapi karena studi kasus mengenai Pelabuhan Pekalongan yang dilakukan Sutejo, berhasil mengungkap aspek-aspek baru tentang sejarah lokal Kawasan yang bersangkutan tersebut.
Penulis : Sutejo K. Widodo
Pengantar : Prof. Dr. A.B. Lapian
Penerbit : Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang & The Toyota Foundation
Tahun : 2005
Comments
Post a Comment