'Pidato Blitar' dan Kesadaran Sejarah Bangsa
Bukti otentik Soekarno lahir di Surabaya |
Tepat 1 Juni saat hari kelahiran Pancasila, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa presiden pertama Indonesia yakni Ir Soekarno lahir di Blitar. Padahal menurut fakta sejarah yang sebenarnya, Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur. Fakta ini dapat dilihat dalam autobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, seorang jurnalis Amerika yang menulis berdasar penuturan langsung Bung Karno; Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams. Dalam sekejap kesalahan ucap presiden ini menjadi pergunjingan publik, terutama di media sosial.
Setelah beberapa lama menjadi pergunjingan, akhirnya pihak Istana melalui Tim Komunikasi Publik Presiden, Sukardi Rinakit, menyampaikan permintaan maaf. Sukardi menyatakan bahwa kesalahan ucap dalam pidato blitar tersebut adalah kekeliruanya dan menjadi tanggung jawabnya.
Kekeliruan yang sudah menjadi bubur ini, sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini mengindikasikan kurangnya kesadaran sejarah kita terhadap bangsa sendiri. Namun, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah, karena sesungguhnya perlu sinergitas semua pihak dalam membangkitkan kesadaran sejarah. Dalam hal ini, pemerintah, sejarawan, guru, mahasiswa, dan tokoh masyarakat menjadi figur sentral menjadi pembawa cahaya dalam membangkitkan keasadaran sejarah bangsa.
Sedikit banyaknya masyarakat layak mendapatkan apresiasi karena antusiasmenya mengoreksi kekeliruan Presiden, tapi yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar latah atau memang sadar sejarah? kalau ternyata hanya latah, seharusnya mengikuti perkataan Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga, "Ini adalah momentum". Ya, momentum membangkitkan kesadaran sejarah bagi semua pihak.
Mari sadari sejarah,
Historia vitae magistra!
[NF]
Kekeliruan yang sudah menjadi bubur ini, sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini mengindikasikan kurangnya kesadaran sejarah kita terhadap bangsa sendiri. Namun, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah, karena sesungguhnya perlu sinergitas semua pihak dalam membangkitkan kesadaran sejarah. Dalam hal ini, pemerintah, sejarawan, guru, mahasiswa, dan tokoh masyarakat menjadi figur sentral menjadi pembawa cahaya dalam membangkitkan keasadaran sejarah bangsa.
Sedikit banyaknya masyarakat layak mendapatkan apresiasi karena antusiasmenya mengoreksi kekeliruan Presiden, tapi yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar latah atau memang sadar sejarah? kalau ternyata hanya latah, seharusnya mengikuti perkataan Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga, "Ini adalah momentum". Ya, momentum membangkitkan kesadaran sejarah bagi semua pihak.
Mari sadari sejarah,
Historia vitae magistra!
[NF]
Comments
Post a Comment